Sensasi Mengejar Layang Layang
Oleh: Yunizar Ramadhani

Para orangtua dan guru sering dipusingkan oleh kelakuan anak-anak yang mengejar layang-layang putus di tengah jalan-jalan umum tanpa mengindahkan keselamatan mereka. Padahal layang-layang seharga lima ribu rupiah itu tak sebanding dengan keselamatan mereka.
Dilihat dari sudut pandang anak-anak, mengejar layangan putus bukanlah soal untung-rugi atau bahaya. Ada sensasi menggelitik disertai rasa puas akan keseruan menghadapi tantangan saat memburu layangan. Perasaan ini yang tidak ditemukan ketika hanya membeli layangan lalu tinggal dimainkan.
Rasa kejiwaan yang serupa dirasakan pendukung tim sepakbola yang rela habiskan waktu dan uang demi menonton klub kesayangan berlaga, atau bapak-bapak yang rela meninggalkan anak dan istrinya seharian penuh demi pergi mancing, atau orang beragama yang rela memborong segala aksesoris yang berhubungan dengan pemuka atau kelompok agama yang dikaguminya. Ada sensasi dalam jiwa.
Ada dua pesan yang ingin disampaikan di sini: Pertama, bahwa dalam pendidikan dan pembelajaran kadangkala sudut pandang anak-anak didik mesti diperhatikan agar pendidik tidak keliru memaksa mereka memahami segala hal dari sudut pandang orang dewasa. Tinggal kemudian bagaimana berinovasi agar tujuan umum pembelajaran tercapai tapi “sensasi-sensasi kekanak-kanakan” itu tetap bertahan. Bagaimanapun mereka masih anak-anak. Anak-anak bukan kertas kosong, seperti halnya fans sepakbola, bapak-bapak yang hobinya mancing, dan orang beragama. Mereka semua jelas bukan orang-orang yang tak sadar.
Kedua, bahwa pengalaman sensasional tidak bisa diabaikan sebagai salah satu sumber pengetahuan. Pengenalan terhadap sesuatu tidak akan sempurna hanya dengan mengandalkan pengalaman indrawi dan penalaran rasional. Pengalaman sensasional mendapat tempat yang tinggi dalam spiritualitas agama-agama, yang kemudian disebut “pengalaman mistik” atau “pengalaman religious” (religious experience). Menurut Muhammad Iqbal (1877-1938) dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, pengalaman religious memberikan kenikmatan intelektual dan spiritual tentang keseluruhan realitas, baik yang bersifat fisik maupun yang metafisis (gha`ib). Maka dalam mengenal Allah yang Maha Gaib, sekali lagi menurut Iqbal, tidak bisa melalui pemikiran, melainkan perasaan (dzawq).[]
*) Penulis adalah Guru Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri Martapura