Pentas Seni dan Jebakan Kemajuan

0

ISTILAH “pentas seni” seringkali menunjuk kepada pertunjukan seni yang dilaksanakan di lingkungan sekolah, khususnya sekolah menengah. Biasanya pentas seni dipanitiai oleh para siswa, dibiayai dari uang hasil iuran antar siswa, pertunjukan seninya ditampilkan oleh siswa dan ditonton oleh para siswa beserta guru-gurunya.

Para siswa sering menyingkat “pentas seni” menjadi “pensi”. Mungkin ini istilah lama. Sebagian pelajar kini menyebutnya “art show” atau sebutan-sebutan lain yang lebih modern dan populer. Namun sebagian lingkungan sekolah masih mempertahankan istilah-istilah lama karena alasan tradisi.

Kadangkala pensi digelar pada waktu-waktu tertentu, seperti saat pesta perpisahan siswa akhir, awal tahun pelajaran, pada momen-momen seremonial dan lain-lain. Namun sebagian sekolah menjadikan pensi sebagai agenda rutin, entah bulanan atau tahunan. Karena sudah menjadi agenda rutin sekolah untuk sekian lama, pensi kemudian menjadi tradisi, atau meminjam istilah dalam agama Islam, sunnah.

Tentu saja pensi di sekolah-sekolah terdiri dari satu atau banyak ragam pertunjukan seni, seperti drama, tari, drama komedi, kabaret, pembacaan puisi dan lain-lain. Kadangkala penampilan-penampilan itu disiapkan sendiri oleh para siswa, bisa pula dibimbing oleh satu atau lebih guru pembimbing. Pagelaran pensi, dengan demikian, telah menjadi bagian dari proses pendidikan.

Berbicara tentang seni tentu tak lepas dari persoalan keindahan. Dalam filsafat, bahasan mengenai keindahan disebut estetika yang mencoba menjawab: apa itu keindahan? Bagaimana sesuatu dapat dikatakan indah?

Sudah banyak diskusi-diskusi mengenai hal ini dalam khazanah filsafat yang merentang dalam sejarahnya sepanjang masa, sejak masa Yunani kuno hingga era pasca-modern. Kita bisa dengan mudah mengakses informasi-informasi seputar estetika lewat buku-buku atau tulisan-tulisan yang berhamburan di jagat maya.

Pertanyaan lainnya yang juga diajukan dalam menyoal seni adalah: Apakah keindahan merupakan sesuatu inheren pada diri sesuatu itu ataukah ia sifat yang dilekatkan kepada sesuatu oleh manusia sebagai subjek yang memandang?

Dalam hal ini ada setidaknya dua pendapat yang berseberangan. Di satu pihak, keindahan ada pada bentuk (forma) suatu benda sehingga sesuatu memang indah pada dirinya. Hal itu karena terdapat keserasian dan sistematika yang rapi nan logis, bahkan matematis, di antara komponen-komponen yang membentuk karya seni itu.

Lukisan terlihat indah karena ada keserasian di antara goresan-goresan tinta warna-warni dan kuas. Musik terdengar indah karena ada harmoni di antara bunyi-bunyi. Tarian mengandung unsur keindahan karena ada keselarasan dalam sistem gerak badan. Dengan demikian, keindahan identik dengan suatu sistematika logis.

Pandangan semacam ini diamini oleh para filsuf yang berorientasi pada metafisika. Para filsuf muslim aliran peripatetik (masya`iyah) yang aristotelian seperti al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd menambahkan satu lagi kriteria lagi terhadap keindahan, yakni korelasinya dengan kebenaran. Sebagai para filsuf religius, mereka tentu tak bisa mengabaikan perlunya seni menjadi sarana untuk mendekatkan diri pada Tuhan.

Di lain pihak, keindahan dianggap bukan sesuatu yang melekat pada suatu benda, melainkan diberikan oleh manusia sebagai subjek pengamat. Dalam kata lain, sesuatu dapat dipandang indah dan disebut sebagai karya seni jika orang-orang sepakat bahwa sesuatu itu adalah karya seni. Pendapat ini mengemuka di antara para filsuf di masa modern abad ke-20.

Pertunjukan seni yang ditampilkan dalam pensi di sekolah dapat dikategorikan sebagai seni dalam pandangan terakhir ini. Sebab, di dalam pensi kita hampir tidak dapat menemukan pertunjukan layaknya karya seniman profesional.

Pensi lebih terlihat dan dinikmati sebagai acara hiburan ketimbang penghayatan seni. Karena itu, apa yang ditampilkan siswa lebih berupa pertunjukan seni populer yang targetnya adalah kegembiraan. Namun orang-orang akan mengatakan apa yang mereka tampilkan adalah karya-karya seni dan pertunjukan itu tetap disebut sebagai pertunjukan seni.

Meski demikian, maksud sekolah mengadakan pensi tak lepas dari tujuan pendidikan. Selain memang sebagai hiburan bagi para siswa dan guru, pensi diselenggarakan untuk menumbuhkan rasa percaya diri siswa, menyalurkan minat dan bakat, melatih kemampuan berorganisasi, mengenalkan budaya masyarakat, dan tujuan-tujuan edukatif lainnya.

Namun ada satu hal yang patut menjadi perhatian. Kadangkala pensi bukan sekedar pertunjukan hiburan, melainkan juga ajang unjuk gigi, jalan untuk mendapatkan kehormatan dan kemasyuran. Dalam hal ini, saya berbicara dalam konteks pensi yang sudah menjadi tradisi dan agenda rutin di sebagian lingkungan sekolah.

Karena ada hasrat terhadap kehormatan dan kemasyuran individu atau kelompok, setiap penyelenggaraan pensi mengandung aroma persaingan. Antara satu pensi dengan pensi lainnya terdapat kompetisi untuk menggelar pensi terbaik.

Pada tahap inilah pelaksana pensi terjebak dalam suatu situasi menegangkan. Kita bisa meminjam apa yang disebut para sosiolog dan sejarawan “jebakan kemajuan” (progress trap), yaitu suatu kondisi ketika ingin atau telah mencapai kemajuan, manusia justru mendatangkan masalah-masalah baru. Kemajuan seakan meminta tumbal, manusia terjebak dalam proses tersebut dan tidak akan bisa kembali ke awal ketika segalanya masih sederhana.

Dalam konteks pensi, setiap penyelenggara dan penampil terdorong secara psikologis untuk menghadirkan pensi yang lebih maju dan lebih baik dari pensi-pensi sebelumnya. Apa yang dimaksud dengan lebih baik mencakup segala aspeknya, mulai dari perangkat-perangkat pertunjukan, hingga standar kualitas pertunjukan itu sendiri.

Pensi pertama mungkin digelar dengan sangat sederhana. Boleh jadi pensi pertama digelar dengan panggung sederhana, dengan latar panggung seadanya, satu lampu minyak atau neon yang cukup terang, konsep pertunjukan yang luwes, persiapan yang tidak terlalu rumit menyita waktu, pikiran, emosi dan tenaga.

Seiring dengan “jebakan kemajuan”, pensi akan digelar lebih baik dari sebelumnya, dan itu berarti panggung yang lebih besar, pencahayaan yang lebih canggih, alat-alat penampilan yang lebih banyak dan kostum-kostum yang lebih mentereng. Tidaklah mengherankan jika kemudian dari pensi ke pensi berikutnya biaya yang diperlukan semakin besar.

Selain itu, karena standar kualitas penampilan semakin tinggi, para siswa penampil pertunjukan dituntut berlatih keras demi menghasilkan pertunjukan seni yang lebih spektakuler. Tenaga, pikiran dan perasaan mereka terkuras habis demi menghasilkan apa yang disepakati sebagai karya seni yang lebih baik. Karena tenaga, pikiran dan perasaan terus-menerus dikuras, ruang untuk penghayatan seni itu sendiri semakin menipis.

Selanjutnya, tergantung pada para pendidik. Apakah pensi menjadi ajang hiburan dan gengsi semata walau mungkin disisipi nilai-nilai pendidikan, ataukah pensi diarahkan sebagai wadah bagi para siswa untuk benar-benar menghayati dan mengekspresikan keindahan melalui seni, yang menurut filsuf muslim, Muhammad Iqbal, dalam salah satu puisinya sebagai “obor abadi kehidupan”?

Konon, kaum bijak-bestari mengatakan ada tiga unsur yang membentuk peradaban manusia: kebaikan yang melahirkan moral dan hukum, kebenaran yang melahirkan ilmu dan keindahan yang melahirkan seni.[]

Penulis: Yunizar Ramadhani (Guru Ponpes Darul Hijrah Putri)

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.