Mengatasi Kecewa

0

Hidup adalah anugerah dari Allah SWT. Setiap kita sebagai manusia, karena itu, sepatutnya mensyukuri nikmat tersebut dengan menjalani hidup dengan berbahagia. Namun hidup bersama dengan sesama manusia juga merupakan tempat dan waktu dimana kita merasakan rasa kecewa, gelisah, sakit hati dan penderitaan.

Pengguna jalan yang ugal-ugalan, rekan sejawat yang tidak bisa bekerja sama, ucapan seseorang yang menyinggung, guru yang killer, murid yang malas, bawahan yang tidak menyelesaikan tugas, tetangga yang berisik, pasangan yang tidak setia, karir yang stagnan, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan, penjahat yang mencuri harta kita, pemimpin yang lalim, dan segala peristiwa yang tidak memenuhi harapan dan kehendak kita, semua itu adalah sumber-sumber lahirnya rasa kecewa dan derita di dalam dada.

Secara naluriah, kita tentu tidak mau didatangi rasa kecewa itu. Sejatinya, selama hidup di dunia yang merupakan anugerah Tuhan ini, kita tidak sedikitpun merasakan atau mengalami kekecewaan. Namun kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan, ketentraman dan penderitaan senantiasa berjalin-kelindan sebagai pasang surut kehidupan duniawi.

Maka kita tidak bisa berharap tidak kecewa, tapi kita bisa berupaya mengatasi rasa kecewa ketika ia menghampiri sanubari. Setidaknya ada dua cara bagi kita untuk mengatasi perasaan kecewa dan penderitaan, sebagaimana diajarkan agama dan kaum bijak bestari:

Pertama, hadapi setiap permasalahan dengan sabar. Sabar bukanlah pasrah dengan keadaan atau peristiwa yang menimpa kita. Mungkin ketika musibah datang, pada awalnya kita akan merasa kecewa, sedih dan sakit hati. Namun orang yang sabar akan segera menggunakan akal sehatnya untuk menelaah dan meneliti akar masalah yang menimpanya. Berdasarkan temuan akar masalah, ia bisa menetapkan langkah dan solusi yang cermat lagi tepat untuk menyelesaikan persoalan. Demikianlah Al-Ghazali mengajarkan di dalam kitab Ihya-nya dan demikianlah Ibnu Rusyd secara tersirat menasihati kita melalui uraian tentang perbedaan pendapat para ahli fiqih dalam Bidayatul Mujtahid.

Wasiat kedua pembesar Muslim itu berkaitan dengan ajaran Allah dalam Al-Qur`an bahwa sabar berarti menyerahkan pemecahan masalah kepada pemikiran yang cermat, gerak yang terus maju dan pantang putus asa, yang kesemua itu tercermin dalam sifat-sifat Tuhan. Maka wajarlah jika Al-Qur`an menyebut bahwa orang yang sabar adalah orang yang khusyuk. Allah berfirman:

وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙالَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوْا رَبِّهِمْ وَاَنَّهُمْ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَ ࣖ

”Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya itu berat kecuali bagi orang yang khusyuk, yaitu mereka yang meyakini mereka akan menemui Tuhannya dan kepada-Nya mereka kembali.” (QS. Al-Baqarah: 45-46)

Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ

“Barangsiapa yang berusaha menjaga diri, maka Allah menjaganya, barangsiapa yang berusaha merasa cukup, maka Allah mencukupinya. Barangsiapa yang berusaha bersabar, maka Allah akan menjadikannya bisa bersabar dan tidak ada seorang pun yang dianugerahi sesuatu yang melebihi kesabaran.” (HR. Bukhari)

Cara kedua dalam mengatasi rasa kecewa adalah dengan menghilangkan keinginan. Dengan kata lain, alih-alih terjebak dalam permasalahan yang membuat hati jadi kecewa, mengapa kita tidak hilangkan saja keinginan?! Sebab, pada dasarnya kekecewaan lahir dari keadaan atau peristiwa yang tidak sesuai dengan keinginan kita.

Baik dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam hidup secara keseluruhan, kita senantiasa memasang keinginan-keinginan sebagai ukuran bagaimana seharusnya suatu keadaan dan peristiwa terjadi menurut ego kita. Namun tidak jarang yang ada dan yang terjadi justru tak sesuai dengan keinginan, sehingga muncullah rasa kecewa.

Dengan demikian, sumber kekecewaan kita bukan terletak pada keadaan atau peristiwa, melainkan ukuran atau standar yang kita pasang. Mungkin jika standar itu kita turunkan atau bahkan kita hilangkan, kekecewaan dengan sendirinya akan berkurang atau bahkan tidak kecewa sama sekali. Apalagi jika kita berurusan dengan manusia. Berurusan dengan manusia bisa dibilang tidak akan pernah sempurna. Kita ingin agar si A begini, tapi hasilnya belum tentu sesempurna yang kita bayangkan dan inginkan. Maka turunkanlah standar kita terhadap manusia.

Ini bukan berarti kita tidak boleh memiliki harapan. Harapan memberi kita dorongan untuk bergerak dan punya tujuan dalam hidup, sementara keinginan menyuplai kengototan untuk mencapai tujuan itu.

Harapan berasal dari naluri, sedangkan keinginan berasal dari nafsu dan ego. Jika harapan tak terwujud, ia akan terus ada dan mendorong gerak hidup, namun jika keinginan tak terjadi yang muncul adalah rasa kecewa.

Dalam tradisi keagamaan kita, ajaran tentang menghilangkan keinginan disebut dengan qana’ah atau rasa puas diri. Rasa puas akan keadaan yang melingkupi dan peristiwa yang menimpa seseorang akan membuat hatinya lapang sekalipun tidak sesempurna keinginannya. Bahkan, orang yang bersifat qana’ah justru merasa kaya dan anugerah yang didapatnya melimpah ruah, meski di mata nafsu dan ego segalanya terlihat kurang.

Rasulullah Saw bersabda:

الْقَنَاعَةُ كَنْزٌ لاَ يَفْنى

“Rasa puas diri merupakan pusaka atau kekayaan yang tidak pernah musnah” (HR. at-Thabrani)

Dalam sebuah hadits Qudsi Allah berfirman: “Jika kamu mengerjakan apa yang Aku wajibkan kepadamu termasuk manusia yang paling tekun beribadah; dan jika kamu menjauhi apa yang Aku larang kepadamu, maka kamu menjadi manusia yang memelihara diri dari keburukan, dan jika kamu qanaah terhadap apa yang Aku berikan kepadamu, maka kamu termasuk manusia yang paling kaya.”

Demikianlah sedikit tips mengatasi rasa kecewa yang selalu mewarnai keseharian kita, dengan harapan diri khatib sendiri dan jama’ah sekalian dapat belajar darinya. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Disampaikan dalam Khutbah Jumat di Masjid al-‘Azmu li Ahl al-Khair Ponpes Darul Hijrah Putri, 06 Muharram 1446 H/ 12 Juli 2024. (Yunizar)

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.