Membangun Sistem Sekolah, Perlukah?

0

50% pengelola sekolah (khususnya swasta) mengatakan bahwa masalah terbesar mereka adalah membuat sistem sekolah.

Padahal membuat sistem itu sebenarnya akan mudah dan tidak menjadi susah, kalau tidak salah kaprah dalam mendudukkan sistem pada tempatnya, dan tidak membuat sistem pada waktu yang seharusnya.

Jadi bagaimana cara mudah membangun sistem itu?

Perlu diketahui dulu bahwa sistem itu adalah sekumpulan prosedur yang perlu dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan tertentu.

Kumpulan prosedur ini memberikan jaminan bahwa suatu proses pendidikan sebuah sekolah akan menghasilkan output yang diinginkan, terlepas dari siapapun yang menjalankannya. Misalnya siapapun pengelolanya, sistem pengelolaannya yang tepat akan memberi kepastian pencapaian target pengelolaan meskipun dijalankan oleh siapapun.

Sistem pengelolaan sekolah yang baik akan menjamin kualitas output Seperti yang diinginkan. Tentunya itu menjadi impian semua pengelola sebuah sekolah.

Sama seperti pengelola sekolah yang lain, maka pengelola pun ingin memiliki sistem yang hebat di sekolah yang sedang dikembangkan.

Pengelola sekolah berpikir dengan sistem yang dijalankan sekarang membuat sekolah yang sekarang maju berkembang menjadi sekolah besar, tapi ternyata dapat menghasilkan lebih banyak mudharat dibandingkan manfaatnya.

Pertanyaannya, kok bisa?

Pengelola sekolah perlu susah payah membangun sumber daya manusia atau sebut saja human capital, yang mana SDM adalah sumber modal utama sebuah sekolah yang bisa membangun sekolah sekelas sekolah-sekolah besar yang sudah memiliki sistem pengelolaan yang bisa menjamin kualitas lulusan terbaik.

Jadi apa yang dilakukan?

Pengelola sekolah belajar dari best practice. Tentu saja pengelola sekolah menemukan sistem SDM yang paling baik pada saat itu adalah sistem yang diterapkan di sekolah ternama dan maju.

Maka oleh karena itu, pengelola sekolah sepakat mempelajari dan meng-ATM-kan sistem dari sekolah yang maju yang menjadi referensi agar bisa menduplikasinya di sekolahnya.

Pengelola sekolah percaya dan yakin kalau sekolahnya bisa punya sistem sumber daya manusia dan sistem pengelolaan seperti sekolah yang sudah maju tadi, maka pasti sekolahnya akan cepat berkembang dan besar seperti mereka.

Lalu pengelola sekolah pun membuat dan menerapkan sistem layaknya di sekolah yang sudah maju tadi. Mereka buat dan terapkan prosedur pendidikan yang dibuat mirip layaknya sekolah maju.

Singkatnya pengelola sekolah telah mengadopsi best practice ke sekolahnya dan pasti akan bagus, dan bahkan lebih baik dari sekolah yang diduplikasi.

Dan ternyata sekolahnya standar-standar saja, bahkan tidak berkembang secara signifikan, dimulai dengan jumlah peserta didik yang jumlahnya merosot disertai dengan keluar dan silih bergantinya beberapa pengajar tiap tahun.

Sementara sekolah-sekolah yang ada di sekitar menjadi pesaing kuat, karena mungkin pengelolaannya lebih baik dan maju, meskipun jumlah siswa mereka masih sedikit dibandingkan sekolahnya. Tapi ini akan menjadi bom waktu tatkala pengelola sekolah terlena untuk membuat perbaikan bagi kemajuan sekolahnya.

Jawaban sederhananya adalah apa yang bagus untuk sekolah yang besar dan maju secara konsisten, belum tentu bahkan hampir pasti tidak cocok untuk sekolah duplikatnya.

Ibaratnya kita mau dagang keliling di pasar tapi justru sibuk dengan dasi sepatu dan jas yang Kedodoran.

Itulah yang menjadi alasan kenapa Banyak pengajar di sekolah yang maju, berhenti dari sekolah yang telah menaunginya, kemudian memulai sekolahnya sendiri atau mengajar di sekolah kecil (rintisan) yang seringkali Kedodoran, hingga usahanya mengembangkan sekolah gagal padahal kiblatnya sudah jelas.

Ya mereka yang merintis sekolah adalah orang pintar yang mempunyai segudang pengalaman, pernah mengurus ini dan itu serta dipercaya memimpin posisi penting di sekolah sebelumnya. Sampai-sampai menguasai luar dalam sistem yang sudah jalan dan baku.

Ada kesalahan yang mungkin pengelola lakukan ketika merintis atau mengelola sebuah sekolah, yaitu dengan menganggap sekolah yang dirintisnya sebagai miniatur dari sekolah besar dan maju yang mereka pernah di dalamnya. Sampai mereka yakin jika mereka menerapkan apa yang mereka tahu saat berada di di sekolah yang besar tadi, maka sekolahnya akan menjadi besar.

Kenyataannya ini adalah dua dunia yang berbeda. Sistem dibuat berdasarkan proses dan budaya yang ada, yang mana antara satu sekolah dengan sekolah lainnya berbeda-beda.

Maka tips paling mudah dipahami bagi pengelola sekolah adalah jangan membuat sistem dengan cara mencontek deskriptif dari sekolah lain, bila terpaksa melakukannya maka pastikan sekolah yang diduplikasi itu memiliki jenis yang sama dengan sekolah yang sedang dikelola, dan itupun belum tentu berhasil karena walaupun proses pengelolaannya sama, budaya organisasinya jadi berbeda.

Maka saran dari ahli adalah buatlah sistem berdasarkan best practice sendiri, karena yang terbaik hanya bisa dibuat ketika sekolah sudah maju dan berhasil. Artinya saat itu sekolah yang dikelolanya sudah diterima baik oleh masyarakat.

Dengan demikian pengelola sekolah bisa mengelola sesuai standar kualitas dan target yang diinginkan. Dan jika belum sampai pada posisi itu maka pengelola sekolah tidak buru-buru membuat sistem, tapi teruslah mencari cara, teknik, metode pendekatan apapun namanya agar sekolahnya bisa sampai di posisi itu.

Ketika sekolah sudah sampai di situ baru pengelola sekolah membuat sistem untuk menjamin keberhasilan agar selalu terjaga.

Itulah yang akhirnya dilakukan beberapa sekolah, setelah sadar bahwa sistem sekolah besar dan maju ternyata tidak bekerja untuk sekolah duplikatnya.

Yang harus diputuskan adalah sekolah membuat sistemnya sendiri dengan merujuk sekolah-sekolah yang sudah mapan dan maju.

Terkait pengelolaan dipetakan sedemikian rupa, mulai dari pola kerja, proses pengelolaan dan seterusnya. Dan di antara pola kerja serta proses pengelolaan yang terbukti berkali-kali konsisten menghasilkan output terbaik seperti yang diinginkan menjadi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tentang pembuatan sistem, dan nantinya dapat dijadikan standar wajib yang harus ada di sekolah.

Kemudian pengelola sekolah membuat prosedur kerja untuk memastikan semua tanda-tanda kemajuan terpenuhi, sebagaimana sebuah rangkaian electronic shop yang lengkap dengan aktivitas yang harus dilakukan, siapa yang mengerjakan, dan kapan.

Indikator keberhasilan berikut dengan mekanisme kontrolnya prosedur kerja itulah menjadi sistem pengelolaan yang dibuat untuk sekolah.

Kesimpulannya, Jika ingin membangun sistem pengelolaan sekolah, maka carilah best practice didalam sekolah sendiri, bukan sekolah orang lain.

Jika sekolah memakai konsultan, maka jangan mau disodori template desain sistem, apalagi kalau konsultan bilang itu best practice dari sekolah besar dan maju. Tapi mintalah ke konsultan untuk membuat sistem dari best practice sekolah sendiri.

Terus bagaimana kalau sekolah belum punya best practice?

Itu artinya belum waktunya sekolah membuat sistem, jadi teruslah belajar dan bereksperimen dengan cara-cara baru sehingga sekolah bisa berhasil.

Seperti yang sekolah inginkan dengan meminta bantuan konsultan, maka boleh saja tapi konsultan sekolah dan bukan konsultan sistem.

Nanti kalau sekolahnya sudah berhasil, baru panggil konsultan sistem. Dan lagipula bukankah sistem itu cuma ganjalan ban keberhasilan sekolah.

Selamat membangun sistem sekolah bagi sekolah yang memang sudah saatnya.

Semoga bermanfaat

Martapura, 11 agustus 2022

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.