Jangan Benci!
MANUSIA adalah makhluk sosial. Ini adalah aksioma atau pernyataan yang sudah kita semua terima sebagai kebenaran. Artinya, seseorang tidak dapat hidup tanpa berinteraksi dengan orang lain. Semua saling membutuhkan, semua saling memohon pertolongan. Akan tetapi, hubungan antar manusia acapkali terganggu oleh rasa benci.
Istilah “Benci”, yang dalam kosakata Arab paling populernya adalah “kariha”, secara harfiah berarti “tidak suka”. Namun kami berpandangan rasa benci cukup berbeda dengan sekedar tidak suka. Kita tidak suka dengan seseorang bukan berarti kita membencinya. Kita tidak suka padanya, maka kita hanya tidak mendekat padanya secara emosional. Tapi jika kita membenci seseorang, maka kita akan secara aktif menghindarinya. Bahkan jika kebencian itu begitu dalam dan memuncak, kita bisa saja mencelakai orang yang kita benci atau paling tidak kita berharap ia akan celaka.
Qila, konon, Imam Al-Ghazali pernah mengatakan: “cinta merupakan suatu anugerah yang memberikan manfaat. Jika anugerah itu mendalam dan menguat, maka itu dinamakan kerinduan. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka itu dinamakan dendam.”
Rasa benci pada sesama manusia biasanya muncul karena kecewa atau sakit hati karena pernah dilukai oleh seseorang. Atau, berharap sesuatu dari seseorang namun kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Apabila benci sudah tertanam dalam diri, maka datanglah secara beruntun penyakit-penyakit hati lain, seperti prasangka buruk, dengki, dan puncaknya adalah dendam. Dan rasa dendam sangat berpotensi melahirkan tindak kejahatan.
Di dalam al-Qur’an, memang banyak terdapat kata “kariha” atau “benci” dengan berbagai macam tashrif-nya dan berbagai sinonimnya, seperti “baghdha”, “maqhta”, “raghiba ‘an”, “la yuhibb”, dan lain sebagainya. Namun hampir semuanya menunjukkan kebencian terhadap suatu barang, peristiwa, keadaan atau perbuatan manusia. Kebencian semacam itu adalah wajar, bahkan menurut Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab tafsir karangannya, Marah Labid, ketika menafsirkan ayat 216 surah al-Baqarah, kebencian merupakan sesuatu yang hadir secara naluriah.
Akan tetapi kebencian yang kita bicarakan di sini adalah kebencian terhadap pribadi seseorang. Meski rasa benci lahir dari kekecewaan atas perbuatan seseorang pada suatu peristiwa, namun ego dan nafsu amarah membuat kita benci kepada keseluruhan diri seseorang. Menurut para ulama dan akal sehat kita sendiri, benci yang demikian merupakan perasaan yang buruk dan tergolong bagian dari akhlak madzmumah.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW dengan tegas membenci seseorang, apalagi ia adalah sesama Muslim yang shalat menghadap ka’bah. Rasulullah bersabda:
لاَ تَبَاغَضُوْا وَلَا تَحَاسَدُوْا وَلَا تَدَابَرُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ
“Janganlah kalian saling membenci, saling mendengki, dan saling membelakangi. Hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal bagi seorang Muslim mengabaikan saudaranya lebih dari tiga malam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Diceritakan di dalam sebuah riwayat: Abu Bakr al-Shiddiq, ayah dari Siti Aisyah r.a, sering memberi bantuan kepada seseorang bernama Musathathah bin Atsatsah. Suatu ketika Musathathah menyebarkan fitnah atau berita bohong mengenai Siti Aisyah yang juga istri Nabi Muhammad Saw. Akibat perbuatan Musathathah tersebut, Abu Bakr membencinya dan menghentikan bantuan kepadanya serta bersumpah tidak akan lagi membantunya.
Tak lama setelah sumpah itu terucap, turunlah ayat 22 surah an-Nur:
وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْٓا اُولِى الْقُرْبٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۖوَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan (rezeki) di antara kamu bersumpah (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(-nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dengan demikian, janganlah kita membenci seseorang. Kalaupun harus membenci, bencilah perbuatannya, bukan diri pribadi seseorang secara keseluruhan, sebab perbuatannya hanyalah sebagian dari dirinya. Dampak dari kebencian justru merugikan diri kita sendiri. Setidaknya ada tiga kerugian yang akan kita dapat.
Pertama, benci membuat hati menjadi tidak tenang dan gelisah. Suasana menjadi tidak nyaman ketika bertemu dengan orang yang kita benci. Kalaupun tidak bertemu, mendengar namanya saja hati kita jadi gelisah. Hari-hari kita dipenuhi harapan agar seseorang yang kita benci bernasib malang atau kalau perlu lenyap dari muka bumi. Padahal, secara tidak langsung kebencian hanya akan menghabiskan waktu kita untuk memikirkan dirinya, sementara orang yang dibenci belum tentu memikirkan kita.
Kedua, benci adalah penyakit hati yang akan membunuh akal sehat. Manakala kita sudah membenci seseorang, maka segala kebaikan yang ia perbuat tetap akan terlihat buruk di mata kita. Dengan ini, kita akan berbuat tidak adil sejak dalam pikiran. Sebait kalimat bijak dari mahfuzhat berbunyi:
عَيْنُ الرِّضَا عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيْلَةٌ # كَمَا أَنَّ عَيْنَ السُّخْطِ تُبْدِيْ المَسَاوِيَا
Artinya kurang-lebih adalah: “pandangan yang ridha akan tumpul terhadap segala aib, sebagaimana pandangan yang penuh benci hanya melihat pada kekurangan.”
Ketiga, kebencian membuat dunia terasa sempit. Seseorang yang sedang membenci biasanya berusaha menghindar dari sesiapa yang ia benci. Sedapat mungkin ia tak ingin bertemu dengannya, tidak ingin melewati jalan yang sama, tidak sudi berkumpul dalam satu majelis dan tidak mau bekerja sama dengannya. Bukankah perilaku semacam itu membuat dunia menjadi terasa sempit, gerak jadi terbatas dan peluang meraih sukses juga makin sedikit? Selain itu, kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Boleh jadi, suatu saat nanti kita membutuhkan orang yang sekarang kita benci, atau boleh jadi kita akan menghabiskan sisa waktu kita bersamanya.
Demikianlah, rasa benci hanya akan menggerogoti hati para pembenci. Kalaupun membenci adalah perilaku manusiawi, maka benci perbuatan buruk seseorang, bukan keseluruhan diri pribadinya. Sebab, kebencian semacam itu bersifat sementara dan tidak menutup mata kita akan kebaikan orang yang dibenci. Kalaupun ingin benci, bencilah perasaan benci. Semoga kita semua terhindar penyakit hati ini.[]
Penulis: Yunizar Ramadhani (Guru Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri)
Tulisan ini disampaikan dalam Khutbah Jumat di Masjid al-‘Azmu li Ahlil Khair Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri Martapura, 23 Agustus 2024.