Bahasa Seragam
Beberapa hari menjelang 17 Agustus guru-guru sibuk memperbincangkan pakaian seragam yang akan mereka kenakan saat upacara nanti. Pihak lembaga sekolah telah menetapkan seragam upacara peringatan kemerdekaan RI berupa pakaian resmi bernuansa merah-putih.
Tapi merah seperti apa? Merah terang? Merah darah? Atau merah marun? Jilbab bagi guru perempuan, apakah polos atau bermotif? Beruntung, putih tidak punya banyak ragam, sehingga rapat mingguan di akhir pekan kala itu tidak menjadi lebih panjang.
Meski begitu, pakaian seragam sangat penting dalam susun-pikir guru-guru itu. “Supaya guru terlihat berwibawa di depan murid-murid,” ujar salah seorang guru senior.
Apakah seragam memang memancarkan wibawa seseorang? Apakah wibawa satu-satunya alasan perlunya mengenakan seragam? Apa yang sebetulnya mendasari pengenaan pakaian seragam?
Perihal seragam sebenarnya bukanlah persoalan baru – karena keberadaan pakaian seragam bukanlah fenomena yang baru. Sudah banyak para ahli, khususnya dalam kajian sosiologi dan studi budaya, mengulas topik ini.
Analisis yang kritis acapkali membaca bahwa pakaian seragam merupakan sebentuk pendisiplinan tubuh, sekaligus simbol pendisiplinan pikiran dan kreativitas. Hal ini paling terlihat dalam pengenaan seragam sekolah.
Penelitian Hudzaifah dkk. (2011), misalnya, menemukan bahwa kewajiban mengenakan seragam sekolah memang bertujuan mendisiplinkan penampilan siswa. Di satu sisi, kewajiban tersebut bermaksud membangun citra sekolah – seperti tertuang dalam Peraturan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Namun di sisi lain, proses penerapannya yang berupa kewajiban tentu melahirkan pembatasan-pembatasan: mana yang harus dilaksanakan, mana yang harus ditinggalkan. Setiap pihak yang dikenai kewajiban harus tunduk pada pembatasan-pembatasan tersebut.
Jadi, dalam disiplin berpakaian seragam terkandung penundukan. Siswa dalam hal ini menjadi objek yang ditundukan. Lalu bagaimana dengan persepsi para siswa sendiri?
Temuan Hudzaifah dkk juga menyebutkan bahwa mayoritas siswa setuju dengan kewajiban pengenaan seragam dan telah melaksanakan kewajiban mereka dengan baik. Sepintas ini berarti siswa mengenakan seragam sekolah dengan penuh kesadaran.
Namun hal itu segera terbaca bahwa kesadaran tersebut hadir berkat hegemoni tentang nilai-nilai ideologis dan etis pakaian seragam yang telah ditanamkan otoritas pendidikan kepada siswa-siswa.
Jika demikian – bahwa hegemoni melingkupi kesadaran akan seragam – apakah tidak ada sama sekali orang yang mengenakan seragam dengan kesadaran penuh akan nilai dan fungsi pakaian seragam?
Kenyataannya memang tidak semua pemakai seragam mengenakannya karena takut melanggar kewajiban. Polisi berseragam salah satunya.
Institusi kepolisian memang mewajibkan anggota-anggotanya mengenakan seragam polisi saat bertugas dan pada acara-acara resmi. Dalam hal ini anggota polisi ditundukkan oleh otoritas yang berlakukan peraturan.
Namun seorang polisi juga sadar akan nilai dan fungsi seragamnya. Dengan seragam ia punya otoritas untuk mengatur lalu lintas, menangkap pelaku kriminal dan menggunakan senjatanya. Dalam konteks ini polisi yang mengenakan seragam tidak hanya objek yang ditundukkan, tapi juga subjek yang menundukkan.
Begitu pula dengan siapapun yang bertempat di bagian tengah suatu struktur. Dalam hal mengenakan seragam mereka ditundukkan sekaligus menundukkan: Aparatur Sipil Negara, pegawai perusahaan atau lembaga swasta, dan termasuk guru-guru kita tadi. Ditundukkan oleh penghuni struktur di atas mereka, menundukkan sesiapa di bawah mereka.
Namun dalam konteks berbeda, ada pula pemakai seragam yang saya kira tidak ditundukkan, melainkan hanya menundukkan. Golongan ini menyadari penuh nilai, kedudukan dan fungsi seragamnya. Sekalipun ada penundukan, mereka ditundukkan oleh diri mereka sendiri.
Bagi mereka, seragam yang mereka kenakan adalah simbol kebanggaan diri dan bahkan bernilai sakral. Siswa sekolah menengah atau mahasiswa perguruan tinggi yang merancang, menyepakati dan dengan bangga mengenakan seragam angkatannya termasuk dalam golongan ini.
Demikian pula halnya dengan penggemar tim sepakbola dengan seragam tim kesayangannya, anggota komunitas hobi, aktivis LSM, jama’ah majelis ta’lim, kelompok sukarelawan, dan lain-lain. Masing-masing punya pakaian seragam yang bernilai kebanggaan dan sakral.
Mengenai yang terakhir, seorang kenalan yang juga seorang anggota DPRD pernah menceritakan pengalamannya kepada saya ketika sekelompok anggota masyarakat menyampaikan proposal mohon bantuan dana. Dana tersebut akan digunakan untuk menyelenggarakan posko jaga bagi para sukarelawan sebuah kegiatan keagamaan besar yang ketika itu akan berlangsung.
Di dalam proposal tercantum bahwa alokasi dana dengan jumlah terbesar ditujukan untuk membuat seragam anggota posko jaga. Anggota DPRD tadi merasa terkejut dan mengeluhkan hal itu.
Menurutnya pembuatan seragam bukan sesuatu yang substantif untuk penyelenggaraan posko jaga. Alokasi dana semestinya difokuskan saja pada konsumsi harian, sewa tenda, obat-obatan. “Untuk item-item itu saya tidak ragu mengucurkan dana,” katanya.
Meski bukan sesuatu yang substantif, seragam itu bermakna bagi para sukarelawan. Di satu sisi, seragam sukarelawan menjadi semacam lencana pengenal resmi.
Namun di sisi lain, seragam juga menjadi cara mereka untuk mengungkapkan kebanggaan sebagai penjaga ketertiban dan keamanan. Apalagi kebanggaan itu terkait dengan acara keagamaan besar, menambah nilai kekesakralan dan “kesucian” seragam yang dikenakan.
Demikianlah, saya kira, salah satu wajah filantropi masyarakat kita. Sifat murah hati kita yang nomor satu di dunia – menurut sebuah riset – berhubungan dengan rasa kebanggaan dan, karena itu, soal identitas. Seragam menjadi semacam bahasa untuk menampilkan identitas suatu individu atau kelompok agar mendapatkan pengakuan bahwa “inilah aku”.
Dengan bahasa seragam, seseorang bisa menundukkan persepsi orang lain tentang dirinya. Seragam, dengan demikian, menjadi elemen penting dalam atmosfer politik identitas dewasa ini yang merasuk ke dalam relung kesadaran setiap anggota masyarakat.
Terlepas dari semua fenomena tersebut di atas, yang pasti pakaian seragam punya banyak bahasa. Boleh jadi sekelompok jama’ah umrah diwajibkan memakai seragam yang disiapkan oleh perusahaan jasa travel agar mereka mudah dikenal dan dilayani ketika berada di tengah jutaan jama’ah di sekeliling kota Mekah.
Atau, boleh jadi seseorang rela mengenakan seragam couple yang dihadiahkan kekasihnya saat berulang tahun, hanya untuk mengatakan: “ya, aku milikmu.” (Yunizar)